Matahari Musim Dingin
“SERUNI, ada yang menjenguk,” ucap seorang perawat, membuat seorang gadis berambut pendek urung memasang sebuah potongan pada papan puzzle dan menoleh dalam sekejap. Bangkit dari posisi duduk sila, gadis itu berjalan pelan menuju sumber suara. Bersama-sama mereka keluar dari aula, tempat para pasien bersantai secara soliter atau pun berkumpul untuk bercengkerama.
Langkah demi langkah hingga tiba di jembatan penghubung area barat dan timur pusat rehabilitasi. Aula terletak pada bagian barat, sehingga untuk mencapai ruang jenguk siapapun yang melintas pasti harus lewat jembatan ini. Dinding dalamnya berwarna oranye muda, dengan karpet merah sebagai komplemen. Sepanjang jembatan terpasang jendela dengan kusen kayu yang dicat putih.
Satu jam sebelum tengah hari. Tak heran bila sinar matahari membasuh hampir seluruh bagian jembatan. Dengan lembut menerpa bagian kulit Seruni yang tak terhalang pakaian pasien. Hangat, namun sedikit membakar.
Seruni sedikit heran, sebab orang tuanya berkata bahwa mereka akan menjenguk pada hari keempat dari total tujuh hari perawatan. Lagipula, mana mungkin bisa hari ini, Jumat masih hari kerja. Lalu, siapa?
Tak lama dari jembatan tadi, Seruni dan wanita perawat tiba di tempat tujuan: Ruang Jenguk Pusat Rehabilitasi Medisinal. Terpatri demikian pada dinding bagian depan. Di dalam ruang jenguk, ada delapan belas bilik berukuran satu kali satu meter dengan nomor-nomor berbeda di muka pintunya. Berbaris memanjang di dalam ruangan hingga membentuk lorong-lorong. Setelah bilik ketiga dari pintu utama, dibiarkan kosong sebagai jalan menuju lorong di sebelahnya. Sang perawat mengantar Seruni ke Bilik 17, angka yang sama dengan usianya dua bulan lalu.
“Silakan,” ujarnya. Setelah mengucap terima kasih, Seruni menarik pintu dan masuk ke dalam.
Yang paling tak terduga adalah si penjenguk. Bukan penampilan atau perangainya, melainkan eksistensi sosok itu sendiri. Membuat fungsi kerja otak gadis itu mendadak macet.
“Halo, Run,” sapa seorang pemuda dengan agak canggung. Manik mata hitam legam miliknya bergerak seiring pergerakan gadis di seberangnya hendak duduk. Seruni tampak biasa saja, tak ada beda dari Seruni di sekolah. Hanya saja terasa aneh baginya melihat gadis itu terbalut setelan pasien berwarna oranye pastel—warna utama gedung ini. Walaupun Seruni bukan sosok yang ceria setiap saat, namun tetap tak lazim bagi gadis itu untuk berada di tempat ini.
“Ha-halo….” Kepala Seruni sedikit tertunduk akibat salah tingkah di hadapan si pemuda. Berusaha semampu mungkin tak membuat kontak mata dengan temannya yang bernama Dimas itu. Ia tak menyangka Dimas tahu tempatnya ‘dirawat’, bahkan sampai mengunjunginya. Padahal Seruni sudah minta wali kelas untuk merahasiakan hal itu. Tajuk ‘pusat rehabilitasi’ saja sudah berkonotasi negatif, teman-teman tak boleh tahu keberadaannya.
Setelah beberapa saat, gadis itu membasahi kerongkongannya yang hampir tandus dan menatap mantap lawan bicaranya. “L-lo disuruh Pak Yayat jenguk gue, Dim?”
“Nggak, gue pengen jenguk aja. Tumben lo absen, sudah tiga hari lagi.”
Selain satu SMA dan satu kelas, Seruni dan Dimas dulu pernah satu kelas selama tiga tahun di SMP. Mereka cukup dekat, mungkin karena sama-sama berteman baik dengan Kemala—yang memang dikenal supel dan humoris. Hingga awal masuk SMA, mereka masih cukup dekat. Seruni kerap bertanya pada Dimas perihal berbaur dengan teman baru karena pemuda itu sangat supel.
Tak lagi sekelas selama dua tahun ajar membuat kedekatan mereka lambat laun digerus kesibukan. Dimas tak berubah, masih dirinya yang supel dan berteman dengan banyak orang. Seruni memilih lingkaran pertemanan yang kecil, di mana tak banyak orang ingin masuk. Mereka hidup dalam dunia masing-masing, tanpa tahu kapan titik singgung akan muncul. Setahun kemudian, di kelas dua belas mereka kembali dipertemukan. Kali ini dengan situasi yang sama sekali berbeda.
Mungkin hanya Seruni yang merasa begini, namun antara dirinya dan Dimas kian canggung. Apalagi dalam dua tahun terakhir mereka jarang saling bersapa. Memang dalam beberapa kesempatan, ia dan Dimas masih berbincang ringan. Namun, Seruni yakin hal itu adalah sebab dari kesupelan Dimas, bukan karena mereka masih sedekat dahulu.
Belum ada sepatah kata yang keluar lagi semenjak jawaban dari si pemuda dilontarkan. Kali ini tak hanya Seruni, Dimas pun merasakan dengan sangat kecanggungan yang membalut Bilik 17.
“Um… gue mungkin bakal jenguk lagi, Run,” ujar lelaki itu, akhirnya memecah keheningan yang nyaris mutlak.
Satu kalimat barusan cukup untuk membuat mata si gadis membelalak dan mengernyit sepersekian detik kemudian. Sunyi sejenak setelahnya. “Kenapa?”
“Entah,” balas Dimas mengusap-usap tengkuk dan mengangkat bahu. “Gue pengen datang aja. Mungkin kangen.”
Si gadis terbelalak untuk kedua kalinya. Bisa-bisanya Dimas bicara begitu tanpa merasa sungkan atau bagaimana. Tentu saja ia tak tahu, ada sekepal jantung milik seseorang yang berdegup cepat karena ucapannya. Ada pipi-pipi yang memanas dan pikiran-pikiran yang berantakan.
Sesi kunjungan hanya diperbolehkan selama satu jam. Tidak lebih, tapi boleh kurang. Selama satu jam itu, mereka habiskan dengan bertukar kabar dan berbincang, walaupun tak jarang tiba-tiba diam karena habis bahan. Topik yang sering muncul, apa lagi jika bukan memori masa lalu. Teman-teman lama, kejadian lucu yang ditertawakan bersama. Tidak bisa menjurus menuju topik masa sekarang, karena jika iya, obrolan mereka tidak akan lanjut.
Sudah waktunya Dimas pamit pulang. Seruni pun harus makan siang sesuai jadwal, dan ikut sesi terapi komunal setelahnya. Perawat wanita yang tadi mengantarnya sudah berdiri di depan bilik untuk menjemput gadis itu.
Tak ada yang disesalinya dari satu jam berharga bersama Dimas, kecuali kecanggungan sialan itu. Seruni berharap nasib baik akan selalu datang kepada lelaki itu, sebab walau raga maupun hati mereka jauh, hangat pancaran sinar Dimas selalu sampai kepadanya bagai matahari bagi musim dinginnya.[]
Komentar
Posting Komentar